Biasanya, bila seorang guru atau kiai mengajar putra kiai lain, ia akan
memperlakukannya dengan istimewa karena hormat pada orang tuanya.
Tapi, kebiasaan tersebut tidak berlaku di sebuah pondok pesantren di
Krapyak, Yogyakarta. Beberapa putra kiai yang menimba ilmu di pesantren
itu diperlakukan sangat keras seperti para santri lainnya oleh sang guru
yang juga merupakan pengasuh pondok pesantren.
Pihak pesantren menerapkan waktu belajar yang ketat, sejak Subuh hingga
pukul 21.00 malam. Para putra kiai itu tidak bisa bersikap seenaknya.
Mereka harus melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai santri.
Pelajaran suatu kitab yang sudah lewat harus dipahami dengan baik. Kapan
saja mereka harus bisa menjawab pertanyaan guru, atau menerangkan
kembali maksud pelajaran tersebut ketika diminta.
Setiap hari mereka harus hafal bait-bait kitab tertentu. Kalau tidak
bisa, sang guru akan menghukumnya dengan berdiri terus sampai bisa
hafal. Siapakah sosok sang guru tersebut?
Dia tidak lain adalah KH Ali Ma’shum, menantu KH Munawir, sang tokoh
pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia dipercaya untuk melanjutkan
memimpin Pesantren Krapyak sepeninggal Kiai Munawir.
Ali, begitu nama aslinya. Ia dilahirkan pada 15 Maret 1915 di Lasem,
sebuah kota kecil yang terletak di sebelah timur dan termasuk dalam
wilayah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota Lasem tidak bisa dipisahkan
dari nama Mbah Ma’shum, seorang ulama pengasuh Pesantren Al-Hidayat.
Mbah Ma’shum tidak lain adalah ayahanda Kiai Ali dan juga merupakan
salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Ali merupakan putra
sulung Mbah Ma’shum dengan istrinya, Nyai Nuriyah.
Dalam buku “Menapak Jejak Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26 Tokoh
Nahdlatul Ulama” disebutkan bahwa ketika Ali berumur 12 tahun, ia
dikirim ke Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur untuk belajar pada KH
Dimyathi.
Saat itu, Pesantren Tremas memang dikenal sebagai salah satu pesantren besar, disamping Tebuireng, Lirboyo dan Lasem sendiri.
Selain itu, Tremas juga dikenal sebagai pusat pendidikan yang
antipenjajah. Sebelum ke Tremas, Ali yang sewaktu kecil suka menonton
wayang ini pernah dikirim ke Pekalongan untuk belajar kepada Kiai Amir,
selain belajar di bawah bimbingan langsung kedua orang tuanya.
Sekitar delapan tahun Kiai Ali belajar di Tremas. Ia berhasil menimba ilmu dan memperoleh bimbingan kepemimpinan.
Sebagai putra seorang kiai besar, Ali memang dihormati oleh keluarga
Pesantren Tremas. Dia tidak tinggal di asrama bersama santri lain,
tetapi ditempatkan di kompleks rumah Kiai Dimyathi.
Kendati tinggal di kompleks rumah Kiai Dimyathi, hal ini tidak
menjadikan Ali membatasi diri dari pergaulan dengan santri lain. Selama
mondok di Tremas, Ali tidak kesulitan mengikuti pengajian yang diberikan
Kiai Dimyathi.
Ketika belajar di Tremas inilah, ia mulai bersentuhan dengan
pemikiran-pemikiran para ulama pembaru dunia, seperti Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah.
Di kamarnya, ia membaca kitab-kitab karangan para ulama pembaru ini,
suatu hal yang tidak lazim dipelajari di pesantren pada masa itu.
Dibandingkan dengan para santri lain, Ali dikenal mahir berbahasa Arab.
Dia memang sangat menyenangi pelajaran bahasa Arab. Tidak saja untuk
memahami kitab kuning, tetapi juga untuk dipraktikkan dalam berbicara
dan menulis. Ia mempunyai koleksi buku-buku dan majalah baru berbahasa
Arab yang diperolehnya dari teman-teman ayahnya atau keluarga Tremas
yang ada di Timur Tengah.
sumber : Republika