Gagasan,
pemikiran, dan kepribadian KH Ahmad Dahlan – pendiri Muhammadiyah – yang
kerap berdakwah di kota Surabaya, Jawa Timur, mampu membetot perhatian
Mas Mansur. Pada 1 November 1921, alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir itu
bergabung dengan Muhammadiyah.
Sebelumnya,
Mas Mansur bergabung dengan Nahdlatul Watan. Mas Mansur dikenal sebagai
sosok yang memiliki semangat nasionalisme. Hal itu dibuktikan dengan
nama madrasah yang didirikannya, Hizbul Wathan (tentara tanah air).
Rasa
nasionalismenya tumbuh ketika menetap di Arab dan Mesir. Pada 1912,
saat datang ke Mesir, di sana sedang terjadi kebangkitan nasional dan
gerakan pembaruan yang dilakukan oleh putra-putra Mesir. Rasa
nasionalismenya itu disalurkan dengan mendirikan beberapa organisasi dan
majelis serta bergabung dalam organisasi di Indonesia, salah satunya
adalah Muhammadiyah.
Setelah
bergabung dengan Muhammadiyah, Mas Mansur langsung mendirikan cabang
di kota Surabaya. Ia menjadi ketuanya. Di Muhammadiyah, ia mengemukakan
banyak gagasan dan langkah untuk merealisasikan amal usaha organisasi
tersebut.
Ketika
Muhamamdiyah mendirikan pandu Hizbul Wathan (HW), ia mengganti nama
madrasahnya menjadi Madrasah Mufidah. Pada 1922, Mas mansur juga
mendirikan HW cabang Surabaya. Ia adalah pencetus atau penggagas
lahirnya Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Mas
Mansur terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah pada Oktober 1937. Di
antara pemimpin lain yang pernah menjabat sebagai ketua, Mas Mansur
menjadi ketua termuda yang pernah dimiliki Muhammadiyah. Ia diangkat
ketika berumur 41 tahun. Jabatan ketua ini memaksanya pindah ke
Yogyakarta dan melepaskan jabatan ketua cabang Surabaya.
Ia
menjabat ketua PB Muhammadiyah selama dua periode, dari 1937 hingga
1942. Periode kepemimpinannya dikenal dengan sebutan "Periode KH Mas
Mansur“. Pada 1938, ia melontarkan prinsip organisasi yang dikenal
dengan nama "Langkah Muhammadiyah 1938-1940“ atau "Langkah Duabelas“.
Dalam
prinsip tersebut dibahas mengenai pendalaman masuknya iman, perluasan
paham agama, menuntut amalan intiqad, penguatan persatuan, melakukan
kebijaksanaan, memusyawarahkan keputusan, dan lain-lain.
Sebelum
terpilih menjadi ketua, di Muhammadiyah sempat muncul rasa
ketidakpuasan yang dirasakan Angkatan Muda Muhammadiyah terhadap
kebijakan pengurus besar. Mereka menganggap para pengurus terlalu
mengutamakan pendidikan dan hanya mengurusi persoalan sekolah
Muhammadiyah, namun melupakan syiar Islam.
Angkatan
muda juga berpendapat PB Muhammadiyah hanya dikuasai tiga tokoh tua,
yaitu Ketua Pengurus Besar KH Hisjam, Wakil Ketua KH Moechtar, dan Ketua
Majelis Pertolongan Kesejahteraan Umum, KH Sjuja‘. Dalam Kongres
Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta, ketiga tokoh tersebut mendapat suara
terbanyak. Kelompok muda semakin kecewa.
Setelah
dilakukan dialog, ketiga tokoh ini setuju mengundurkan diri. Setelah
mereka mundur, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi ketua PB
Muhammadiyah, namun ia menolak. KIai Hadjid juga menolak. Maka Mas
Mansur pun diusulkan menjadi ketua. Pada awalnya ia menolak, namun
setelah melakukan dialog panjang, ia akhirnya setuju.
Pergeseran
kepemimpinan itu menunjukkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang
demokratis, karena mau merespons aspirasi angkatan muda. Selama Mas
Mansur memimpin organisasi berlambang Matahari itu, banyak angkatan muda
yang cerdas dan progresif terlibat dalam kepengurusan.
Di
era kepemimpinannya, Mas Mansur banyak membuat gebrakan dalam hukum
Islam dan politik Islam. Ia tidak ragu membuat kesimpulan tentang hukum
bank. Ia berpendapat bank adalah haram, tetapi diperkenankan apabila
keadaan memaksa. Menurutnya secara hukum bunga bank adalah haram.
Akan
tetapi, ia melihat perekonomian umat Islam dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan dan ekonomi perbankan pada masa itu sudah menjadi sistem
yang kuat di masyarakat. Kondisi itu dinilainya sebagai sebuah
keterpaksaan untuk memperbaiki perekonomian umat.
Pada
1937, Mas Mansur terpilih sebagai bendahara Majelis Islam Ala
Indonesia. Ketuanya bernama W Wandoamiseno. Ia bersama 22 tokoh Islam
lainnya mendirikan Partai Islam Indonesia. Perjuangan politiknya pada
masa kolonial ketika mengadakan pertemuan dengan pemerintah Jepang.
Bersama
Abdul Kahar Muzakkir ia meminta secara langsung kepada pemerintah
Jepang untuk tidak ikut campur dalam urusan keagamaan. Mas Mansur juga
merupakan tokoh nasional yang dikenal sebagai empat serangkai, bersama
Soerkarno, Muhammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Keterlibatannya
dalam empat serangkai memaksanya melepas jabatan sebagai Ketua PB
Muhammadiyah.
Mas
Mansur juga tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada 1944, ia kembali
ke Surabaya dan bersama pemuda terlibat dalam perjuangan merebut
kemerdekaan.
Dua
tahun kemudian, dia ditangkap oleh NICA dan dipaksa berpidato untuk
menghentikan perlawanan rakyat terhadap sekutu di Surabaya. Akan tetapi
ia menolak, sehingga dimasukkan ke penjara. Ia wafat pada 25 April 1946
dalam penjara, karena kegigihannya membela bangsa dan negara.
Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Atas
jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya sebagai
Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH Fakhruddin.