Sedikit
berteorisasi. Menurutku, ada dua hal yang bisa menjadi racun sekaligus obat
bagi kita. Ialah ilmu dan sanjungan. Mereka tak segan mencerdaskan kita dan
menambah semangat kita. Namun mereka juga tak segan mengantar kita pada sebuah
kesombongan dan kelenaan. Teruntuk ilmu. Dia siap jadi senjata untuk berperang
tapi dia juga siap untuk memotong urat-urat nadi kita. Terdengar mengerikan,
tapi itulah dia. Dan kenikmatan sesungguhnya terletak pada akhir kalimat, bukan
awal kalimat.
Sampaikan
walau satu ayat. Terlihat mudah, tapi berat ketika diresapi. Tentunya banyak
hal yang harus dipertimbangkan. Lantas, jangan karena tulisan ini sesuatu yang
harus disampaikan jadi urung. Selagi menuang tentu kita juga mengisi, pastinya
harus sesuai porsi, dosis dan tempat. Tak banyak yang bisa disampaikan, tapi
semoga kita sama paham dengan hal-hal yang terjadi. Lagi-lagi bukan menggurui.
Boleh jadi orang yang menuliskan kata-kata ini juga tak lebih baik dari
siapapun. Selamat membaca dan meresapi tulisan padat ini. Kisah yang tak
seberapa bagus, tapi cukup untuk mengisi waktu luang, daripada hanya sekedar
membuka FB, melihat profil orang lain atau bahkan menunggu like dan komentar dari orang lain.
***
Ku hirup aroma pagi yang bagiku tak pernah
mengecewakan. Ku telan segelas penuh air putih, berjalan menuju kamar mandi,
dan kubasuh semua dengan niat. Tinggal menambahkan aksen atau sentuhan terakhir,
subuh. Alhamdulillah! Jimat pagiku sudah ku lakukan. Subuh adalah jimat,
bagiku. Jika aku tak mengawali pagi ini dengan subuh, maka aku tak menjamin
segala aktivitasku hari ini akan berjalan dengan mulus. begitu pula pada sholat
lainnya. Jika subuh terlewati, tentu hari ini aku akan mendapat kutukan.
Hari ini kuliah perdanaku. Dengan
langkah pertama, debut pertama, dan aroma pertama. Aroma mahasiswa.
Ku
tunggui kuliah pertamaku sambil
duduk-duduk di depan kelas. Tiba-tiba aku melihat sesosok mbak-mbak dengan kerudung panjang lebar dan menggunakan gamis yang
panjang lebar pula, lewat tepat di depanku. Sliwer……….
Hah!
Istri Gus? Ucapku dalam hati.
Aku
jadi teringat percakapanku dengan nenek sebelum aku berangkat kuliah di kota
ini.
Mak! Itu siapa sih? Mbak yang
selalu memakai kerudung besar dan rok panjang yang sering belanja disini juga,
emak kenal? Tanyaku pada nenek saat itu.
O, itu! Mak lupa namanya, siapa ya?
Tapi yang jelas, setau mak itu istrinya Gus. Gus Hanif, pengasuh pondokan di Gondanglegi?
Jawab nenek agak lirih.
O, istrinya Gus ya mak? Cantik ya?
Tambahku sambil memandangi mbak itu, yang memang cantik.
Ah!
Sudahlah, cukup waktu untuk terpakur dan melamun. Sepertinya sudah masuk.
***
Akhirnya.
Kuliah perdana pun selesai, setelah 2 jam bergulat dengan teman, dosen dan
pelajaran baru. Tidak terlalu buruk untuk ukuran hal baru. Hanya sedikit bosan.
Adzan ashar pun berkumandang. Ok! Jimat ketiga ku hari ini. Setelah selesai
wudhu, aku berjama’ah di Masjid. Setelah selesai sholat, ku lepas mukena renda
putih terusan. Juga mereka yang sudah selesai sholat. Sedikit heran. Aku pun
berpikir ulang.
Hah!
Para Istri Gus?. Banyak banget ya! Ucapku dalam hati.
Tak
berapa lama kemudian, salah seorang mbak-mbak
itu menghampiri aku yang sedang duduk santai. Kami berbincang ringan. Kurasa mbak
ini menarik juga. Setelah mbak itu
pergi, aku mulai bernafas lega. Fiuuh! Hampir saja aku mengeluarkan pertanyaan
pamungkasku, mbak ini apa istrinya
Gus? Atau anggota keluarga pondokan?
Untungnya aku tak jadi menanyakan hal bodoh itu, karena mungkin aku akan
dianggap aneh. Alasan kedua aku berpikir akan mencari tahu sendiri tentang hal
ini. Hmmm, Kelihatannya aku memang benar-benar licik.
***
Keesokannya,
saat aku santai melenggangkan tanganku sambil berjalan ke arah kelas, tiba-tiba
Geya memanggilku. Sepertinya Geya bersama mbak-mbak
yang kemarin kutemui di Masjid. Aku pun datang.
“Nad,
daftar UKM yuk!” ajak Geya.
“Iya,
aja deh Ge. Daripada nganggur, kuliah juga gini-gini aja” jawabku
Pada
akhirnya, aku dan Geya, teman sekelasku. Mendaftar UKM yang ia sarankan padaku.
“An-Nahl”, dan lagi-lagi aku bertemu dengan para istri Gus. Tapi miinimal aku
bisa mencari makanan untuk rohaniku yang selalu terlihat muram, dan berita
baiknya lagi, aku bisa menjaga diri saat berada disini. Di kota besar ini, yang
kata orang-orang terlihat sedikit “liar” dan penuh dengan sensasi bling-bling
yang menyilaukan. Walau tak sehebat mbak-mbak
ini, para istri Gus. Anggapku kala itu.
***
Perlahan.
Aku mulai menemukan apa yang ku cari dan yang ku butuhkan, tentunya bersama
Geya. Termasuk Tentang istri Gus, itu kebodohanku. Karena tak semua yang
berpakaian lebar dengan kerudung panjang adalah istri Gus, tapi istri Gus
biasanya berpakaian lebar dengan kerudung panjang. Sedikit berteori.
Bulan
demi bulan kita lewati, aku dan Geya teman sekelasku, kini makin berisi. Selain
datang ke banyak majlis ilmu aku juga sering membaca buku-buku bertajuk islami.
Aku menyukainya, sangat menyukai semua ini.
Tapi
yang ku rasakan saat ini, kadang aku merasa iri dengan Geya yang lebih sigap,
tangkas, cerdas dan lugas dalam hal keislaman. Tak sepertiku yang hanya
begini-begini saja. Dia sering memberi tau banyak orang. Karena ini sebuah
Lembaga Da’wah Kampus tentu saja sasarannya adalah berda’wah, mungkin seperti
dia. Ia tak sungkan menegur ketika itu salah. Seperti yang kualami waktu itu,
saat acara ngaji bersama, tiba-tiba
dia nyletuk “Bukankah kaki juga
aurat, dan bukankah kamu sudah tau? Mungkin lain kali, kaos kakinya bisa dipake
ya, Nad”. Tentu saja aku malu bukan kepalang, banyak orang lagi. Hmm, kadang
aku ingin seperti dia. Dia begitu berani. Dia memang hebat.
Aku ingin seperti dia. Kenapa, apa
yang salah? Kapasitasku dengannya juga sama, mungkin malah lebih. Aku juga
banyak tau karena aku juga mendapatkan banyak pengetahuan dari 10 buku yang
sudah ku baca. Aku siap melakukan hal seperti Geya.
Saat aku beranjak sholat, aku
melihat teman yang akan sholat juga disampingku. Karena aku merasa cara memakai
mukenanya itu salah, aku akan berusaha menegurnya. Dap! jantungku, tiba-tiba
berdeguk keras. Banyak orang disana, aku takut ia malu. Tapi aku harus
menegurnya. ketika aku berniat menegur temanku itu, tiba-tiba datang Geya
padaku yang juga akan sholat. Dia menghampiriku, lalu membenahi mukenaku.
“Biarin Ge, emang tak giniin. Kata guruku dulu, kalo sholat dagu itu juga
aurat” kataku padanya.
“Aurat?
Iyakah? Memang ada dalilnya ya?” kata Geya sambil tersenyum.
Mataku
seketika membulat, rasanya aku seperti diterkam dengan ribuan mata pisau yang amat
tajam. Lagi-lagi aku harus menaggung malu.
“Dalil?
Aku kurang begitu tau, tapi ketika orang yang lebih baik ilmunya dan ku anggap
sebagai guru, aku akan mengindahkan apa yang beliau katakan, tanpa berurusan
dengan dalil. Karena ku pikir apapun yang beliau sampaikan pasti ada
manfaatnya” jawabku sedikit sigap.
“Iya,
tapi semua yang kita dapatkan itu, harus jelas dalilnya. Agar ia menjadi sebuah
kebenaran yang sesungguhnya. Makanya, nanti kalo
dikasih tau tentang hal yang baru. Tanya dalilnya yang mana, supaya jelas”
jawabnya dengan lebih sigap.
Setelah
apa yang ia sampaikan aku jadi begitu tertantang untuk lebih banyak membaca
buku. Aku berpikir tentang dalil. Jika guruku mengatakan tentang suatu hal
kepadaku, lalu aku mempertanyakan sebuah dalil pada beliau. Mungkinkah itu
sebuah kecerdasan, kesombongan, atau sedikit hal bodoh? Atau mungkin ibuku
menyuruhku untuk tidak melakukan sesuatu karena pamali atau yang lain, lalu aku
menanyakan sebuah dalil pada beliau. Apakah itu sebuah kepantasan atau sebuah
kecerdasan? Itu pikiran kotorku, padahal mungkin benar yang ia sampaikan.
Sudahlah.
Pilihan tetap ada ditangan kita. Tapi bagiku keimanan itu tanpa syarat. Ketika
aku mengimaninya dan hal itu membuat hati terasa lebih tenang, aku akan
mengikutinya. Tanpa dalil atau tidak, itu bukan masalah besar yang harus
mendapatkan penanganan serius.
Hmmm,
usai sudah. Akhirnya aku sudah selesai membaca buku ke 50 ku. Berkesan?
Tentunya, ya. Tapi setelah yang ke 50, aku menjadi lebih aneh. Rasa
menggebu-gebuku pada peneguran dan hal-hal berbau da’wah sepertinya sudah
sedikit berkurang. Lagi-lagi karena buku ke 50 ku, aku tak ingin terlalu banyak
bicara dan berkata-kata. Malah aku lebih tertarik untuk membaca lebih banyak
buku lagi.
Aku
lebih suka begini, ku tinggalkan semua yang kurang sepaham denganku tanpa
banyak bicara. Walaupun kabar buruknya, aku renggang dengan Geya. Aku berpikir,
sudahlah teruskan saja, mungkin aku punya cara lain. Aku nyaman begini. tapi tetap
aku masih sedikit merasa lebih berpengetahuan.
Akhirnya.
100 buku sudah ku selesaikan. Aku malah lebih aneh lagi. Aku tak lagi suka
dengan kata menegur, tapi sebaliknya. Aku lebih suka diisi dan hanya sedikit
mengisi, itupun jika diminta. Aku bahkan lebih menyukai ini. Dan tampaknya,
setelah buku ke 100 ku. Aku merasa tak lagi jadi orang yang berpengetahuan.
Tapi aku lebih merasa jadi orang yang paling bodoh, karena baru mengetahui
semua, disaat orang lain sudah mengetahuinya dari awal. Sungguh! Aku tak pernah
merasa sebodoh ini. Karena kebodohanku ini, aku ingin membaca lagi dan lagi
hingga mungkin 1000 buku.
10
buku masih kurang, 50 buku lumayan, 100 buku sedikit lebih baik, begitu seterusnya.
Sama halnya dengan ilmu.
Sampaikan
walau satu ayat. Terlihat mudah, tapi berat ketika diresapi. Tentunya banyak
hal yang harus dipertimbangkan. Lantas, jangan karena tulisan ini sesuatu yang
harus disampaikan jadi urung. Selagi menuang tentu kita juga mengisi, pastinya
harus sesuai porsi, dosis dan tempat. Yaitu, dengan melihat segala sesuatu pada
porsi dan sikon. Jika tidak, lalu apa bedanya menegur dengan mempermalukan?
Dan
Geya. Sudah terlampau lama tak terlihat olehku.
Tapi
tadi pagi aku melihat dia berbonceng dengan pemuda tampan dengan mengenakan
kerudung ala hijabers masa kini, dan
tanpa mengenakan kaos kaki. Hah?? Ada apa?? Sudahlah! Cukup pandang diri
sendiri saja. Pikirku.
Wallahu’alam.
S.
Langit