Lantaran menentang kebijakan pemerintahannya yang hendak menyumbang berbagai jenis kebutuhan untuk membuat senjata kepada negara kafir, laki-laki bergelar ahli ilmu, ahli ibadah, ahli zuhud bernama Buhlul bin Rasyid al-Qairawani al-Maliki yang wafat pada tahun 183 Hijriyah ini ditangkap.
Meski dilindungi oleh banyak kaum Muslimin yang pasang badan ketika sang ulama hendak dicambuki, sang ulama akhirnya dimasukkan ke dalam jeruji besi dalam masa yang lama.
Di dalam penjara itu, ada kisah keteladan tentang amalan sedekah, yang kini berkurang nilai sakralnya hanya karena terlalu diidentikkan dengan balasan dalam bentuk harta serupa.
Lantaran menaruh belas kasihan, ada seorang penjaga penjara yang memberanikan diri mendatangi sang ulama dengan beberapa rekannya untuk mengobati luka-lukanya. Setelah selesai diobati, sang ulama memberikan satu keping dinar (setara dengan 4,25 gram emas atau sekitar 2 juta rupiah) kepada sipir yang mengobati dan beberapa dirham kepada teman-temannya.
Katanya, “Belanjakan uang itu.”
Kondisi ini berjalan hingga beberapa hari. Setiap selesai diobati, Imam Buhlul pasti memberikan uang kepada sang sipir dan teman-temannya. Sejumlah itu.
“Melihat itu,” tutur Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah saat mengisahkan ini dalam menjelaskan Risalah al-Mustarsyidin, “murid-murid Buhlul khawatir uangnya (gurunya) terlanjur habis sebelum sembuh.”
Maka mereka memberanikan diri untuk berkata kepada sang sipir penjara di hari berikutnya, “Buhlul sudah sembuh. Jadi tidak usah datang lagi.”
Persis setelah peringatan itu, sang sipir tidak pernah datang hingga Imam Buhlul pun curiga. Maka ia berkata kepada muridnya, “Menurutku, kalian telah melakukan sesuatu (hingga sipir yang mengobatiku tidak datang lagi).”
Sang murid pun menjelaskan maksud tindakannya. Mereka khawatir jika harta Sang Imam habis sebelum lukanya sembuh, sementara mereka belum memiliki uang untuk membantu sang Imam. Lagi pula, jumlah yang diberikan amatlah besar. Jauh dari cukup untuk ukuran sipir penjara yang sangat jauh dari menguasai ilmu kedokteran.
Selidik punya selidik, ada satu kalimat agung yang memotivasi Imam Buhlul hingga tidak hitung-hitungan dalam sedekah, pun tidak pernah memikirkan untuk mendapatkan balasan dari uang serupa, berapa pun jumlahnya.
Beliau benar-benar ikhlas dan ingin mengamalkan kalimat yang disampaikan oleh Imam Sufyan ats-Tsauri, “Apabila kejujurann seseorang sudah sempurna, ia tidak memiliki apa pun yang ada padanya.”
Demikianlah. Agar kita mengambil hikmah dari kisah ini. Agar kita tidak hitung-hitungan saat bersedekah. Agar kita hanya bersedekah karena Allah Ta’ala, bukan lantaran hendak menggandakan harta. Sebab diminta atau pun tidak, balasan sedekah itu sudah pasti. Allah Ta’ala yang menjaminnya.
Jadi, sibuklah untuk belajar ikhlas. Jangan sibuk menghitung kembalian.
Astaghfirullahal ‘azhiim.
Wallahu a’lam.
Sumber : http://kisahikmah.com/