Merasa diawasi Allah Ta’ala merupakan buah ranum dari amalan ihsan. Ialah seperti melihat Allah Ta’ala saat beribadah, jika pun tak kuasa melihat, sungguh Allah Ta’ala Maha Melihat seluruh yang terbersit di dalam hati dan diamalkan oleh hamba-hamba-Nya.
Merasa diawasi Allah Ta’ala merupakan maqam yang tinggi dalam perjalanan spiritual seorang hamba. Ia harus diupayakan dengan baik, beriringan dengan pencapaian maqam Muslim dan Mukmin yang mendahuluinya.
Imam al-Harits al-Muhasibi, seorang guru sufi, ahli hadits, pakar fiqih dan ahlinya ilmu kalam, menuturkan bahwa perasaan merasa diawasi oleh Allah Ta’ala sebagai puncak ihsan hanya akan sempurna di dalam diri seorang hamba jika memiliki tiga tanda.
Hal ini sebagaimana beliau jelaskan dalam Risalah al-Mustarsyidin yang disyarah oleh Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah.
Merasa Diawasi untuk Taat kepada-Nya
Ialah hadirnya perasaan harap saat melakukan amal. Harapan agar amalnya ikhlas, hanya karena Allah Ta’ala, karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Maka seorang penempuh jalan menuju Allah Ta’ala harus senantiasa sibuk meluruskan niat; sebelum, ketika, dan setelah melakukan amal-amal. Ia benar-benar hati-hati karena mengetahui bahwa Allah Ta’ala Maha melihat.
Merasa Diawasi untuk Tidak bermaksiat kepada-Nya
Mungkinkah kita melakukan larangan di hadapan sosok yang melarangnya? Mungkinkah kita nekat menerjang larangan jika yang melarang mengetahui diri kita secara sempurna? Mungkinkah kita nekat melakukan larangan, padahal Allah Ta’ala yang melarang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata?
Maka ketika seorang hamba melakukan larangan Allah Ta’ala, hal itu cukup menjadi pertanda berkurang atau tiadanya perasaan merasa diawasi Allah Ta’ala di dalam dirinya.
Merasa Diawasi dalam Tiap Lintasan Pikiran dan Keinginan
Inilah tanda yang paling berat. Inilah yang membuat para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menangis, saat Allah Ta’ala menurunkan surat al-Baqarah [2] ayat 284. “Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”
Meski ayat ini telah dimansyukh dengan ayat setelahnya, hendaknya kita berupaya dengan sunguh-sungguh untuk mengontrol setiap lintasan di dalam pikiran. Sebab semua amal keburukan atau kebaikan merupakan lintasan pikiran dan keinginan yang diikuti.
Wallahu a’lam.
Sumber : http://kisahikmah.com/