Adalah Ali bin Husain bin Harb al-Baghdadi. Seorang ahli hadits sekaligus ahli fiqih madzhab Syafi’i. Saat pertama kali menginjakkan kakinya di Mesir, ada pengalaman yang sangat berharga bersama imam masjid di sekitar tempat tinggalnya kala itu.
Mula-mula, beliau menetap di kediaman Ismail bin Haq yang bersebelahan dengan Masjid Ibnu Amrus. Tak lama setelah itu, laki-laki kelahiran 212 Hijriyah dan wafat di Baghdad pada tahun 319 Hijriyah ini pindah ke kediaman al-Mada’ini.
Sebagai seorang ahli hadits, pakar fiqih, dan juga hakim, Abu Ubaid sangat menjaga shalat fardhu dan sunnah. Dia mendirikan secara berjamaah di masjid bersama kaum Muslimin.
Setiap kali adzan berkumandang, Abu Ubaid bergegas mendatanginya. Berniat shalat jamaah, langkahnya tegap dan gagah. Sayangnya, ia mendapati imam sudah mendirikan shalat. Terlambat beberapa rakaat.
Karena berhari-hari mendapati kejadian ini, Abu Ubaid berinisiatif mengirimkan surat kepada sang imam besar masjid. Dia meminta agar sang imam mau menunggu kedatangannya. Agar shalat didirikan saat ia sudah sampai di masjid.
Tak hanya sekali, surat itu dikirim berkali-kali oleh Abu Ubaid. Akhirnya, sang imam dengan tegas menjawab dengan menuliskan, “Shalat itu ditunggu, bukan menunggu (jamaah).”
Mendapati jawaban tersebut, Imam Abu Ubaid tidak marah. Dia justru merasa diingatkan dan tergerak mencari rahu tentang sosok imam masjid tersebut.
Setelah bertemu, Abu Ubaid memuji sang imam, mengakrabinya, lalu memintanya untuk menjadi salah satu saksi tetap jika suatu ketika ada kasus yang harus diselesaikan.
Meski nama imam masjid dalam kisah ini tidak disebutkan dalam berbagai riwayat, kita meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Kalimat yang beliau sampaikan amat sederhana. Hanya lima kata. Tapi maknanya sungguh dalam dan cukup menyadarkan hati yang haus dengan kebaikan.
Inilah di antara bukti bahwa keikhlasan akan abadi. Akan banyak kebaikan lain yang lahir karena keikhlasan seseorang, baik berupa ungkapan maupun perbuatan.
Kalimat sang imam kepada Abu Ubaid ini hendaknya kita ingat baik-baik. Jika perlu, cetaklah besar-besar dan sertakan ke mana pun kita beranjak. Agar gemanya terngiang-ngiang hingga merasuk ke dalam kalbu. “Shalat itu ditunggu, bukan menunggu!”
Rahimahullahu Ta’ala, ya Imam…
Wallahu a’lam. [Pirman]
Sumber : http://kisahikmah.com/