KETIKA sebagian orang ditanya tentang tujuan hidupnya, tidak sedikit yang berpikir lama dan kebingungan untuk menjawabnya. Berbagai versi jawaban tentang tujuan hidup umat manusia mungkin sudah banyak menghiasi buku-buku motivasi dan biografi orang-orang sukses di dunia ini.
Dimana ramai-ramai orang mengikuti jalan hidup idolanya agar ketularan dengan kesuksesannya, dari mulai aktif memantau kebiasaan dan gaya hidup sang idola, sampai saat sang idola tersandung nyungsep masuk ke lubang biawak, ular dan buaya pun, ramai-ramai orang berbondong mengikutinya, sungguh nestapa. Lalu apakah kita umat Islam taken for granted atau mengekor ikut-ikutan dari konsep tujuan hidup dari orang kebanyakan? Atau menjawab dengan hawa nafsu demi kepentingan diri sendiri? Bagaimana seharusnya seorang muslim memaknai tujuan hidupnya? Yang sesuai dengan keinginan Tuhannya, Allah yang Maha Segalanya.
Esensi hidup manusia ialah untuk beribadah, tidak cukup hanya dengan berdoa saja. Segala aktivitas hariannya haruslah diniatkan untuk beribadah, sesuai firman Allah Azza Wa Jalla: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Jadi, Allah tidaklah melepas hamba-Nya hidup dengan semaunya dan seenaknya tanpa aturan, tanpa batasan, tanpa hukuman.
Sering terdengar slogan “kreativitas tanpa batas” digaungkan oleh generasi muda abad ini yang haus akan wadah untuk berekspresi dan berkreasi, namun karena tidak adanya batasan dan aturan, maka terjadilah apa yang terjadi pada pemuda-pemudi nyungsep masa kini, “You Only Life Once, so break the wall and have fun!” begitulah kira-kira prinsip hidup sebagian dari mereka.
Manusia butuh aturan dan batasan, layaknya seperti orangtua yang tak akan tega melepas bebas anaknya di luar rumah tanpa adanya pengawasan dan perhatian. Begitu juga manusia, karena Tuhan kita, Allah Ta’ala begitu cinta dengan hamba-hamba-Nya, maka tidak akan tega dibiarkan bebas tanpa aturan sehingga hambanya menjadi tidak mengenal yang namanya nikmat kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sungguh hidup manusia tidaklah hanya untuk mencari makan, tempat tinggal, kendaraan dan pasangan, tetapi ada tujuan yang jauh lebih mulia dari itu semua. Lalu apa bedanya manusia dengan kaum kafir atau makhluk lainnya yang kebanyakan dari mereka hidup hanya untuk urusan perutnya saja? Perbedaan itu jelas dengan beribadahnya kaum muslimin di setiap nafas dan aktivitasnya. Seorang muslim akan teratur, terjaga, dijamin segala kebutuhan hidupnya dan diberikan kebahagaiaan yang tak bisa dibeli dengan harta dunia sekalipun, hanya dengan jalan ibadah.
Bila aktivitas seorang muslim hanya sekedar rutinitas belaka, dilakukan tanpa adanya ketakwaan terhadap Allah Ta’ala, maka sekali lagi apa bedanya kaum muslimin dengan orang-orang kafir diluar sana? sungguh menjadi kerugian besar bagi seorang muslim bila seluruh aktivitasnya hanya sekedar melepas syahwat diri. Lantas kenapa bisa rugi besar? Karena tanpa sadar mereka telah melewatkan bonus yang Allah Ta’ala berikan berupa pahala amal shalih yang sangat kita butuhkan untuk bekal pulang ke akhirat nanti.
Allah Ta’ala menjanjikan bila segala aktivitas ibadah dilakukan walaupun itu terlihat kecil dan remeh maka pasti akan ada balasannya. Allah Ta’ala berfirman: (Luqman berkata) “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman: 16).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah wasiat yang amat berharga yang Allah ceritakan tentang Lukman Al Hakim supaya setiap orang bisa mencontohnya. Kezholiman dan dosa apa pun walau seberat biji sawi, pasti Allah akan mendatangkan balasannya pada hari kiamat ketika setiap amalan ditimbang. Jika amalan tersebut baik, maka balasan yang diperoleh pun baik. Jika jelek, maka balasan yang diperoleh pun jelek” (Tafsir Ibnu Katsir jilid 6: hal 403-404).
Jadi, beribadah kepada Allah Ta’ala seharusnya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Bila ibadah itu dilibatkan di setiap aktivitas keseharian manusia, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali dengan diniatkan karena Allah Ta’ala dan juga mengikuti suri tauladan terbaik sepanjang masa, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka sungguh janji Allah pasti benar, sebagaimana di dalam firman-Nya “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31). Waallahu ‘Alam. []
Referensi:
1. Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir jilid 6, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004), pp., 403-404.
Sumber : https://www.islampos.com/